Sabtu, 23 Mei 2015

Drama Kehamilan Berujung Bahagia


Bulan November 2013, aku mendapat hadiah tak ternilai dari Tuhan. 
Tak biasanya haidku telat. Waktu itu aku sudah deg-degan dan berharap-harap cemas. Tapi aku nggak langsung cek pake testpack. Aku takut kecewa lagi seperti sebelumnya. Baru setelah telat lebih dari seminggu, aku memberanikan diri membeli testpack. Masih kuingat jelas, bagaimana campur aduknya perasaanku menunggu hasil testpack. Ketika akhirnya kulihat ada dua garis merah tipis pada testpack, aku masih belum berani untuk bergembira. Aku masih ragu. Kok garisnya samar ya? Apakah memang begini tandanya kalo positif? Aku bertanya-tanya sendiri dan lalu memutuskan untuk mengulang kembali keesokan harinya. 
Pagi berikutnya pun tiba. Dengan takut-takut kulihat hasil testpack-ku. Mataku seketika berbinar. Dua garis merah tampak jelas disana. Segera kuperlihatkan hasil testpack tersebut pada suami, Ibu dan juga kakak-kakakku. Kecuali suamiku, semua mengatakan: "InsyaAllah iya hamil. Segera ke dokter kandungan untuk memastikan". Tak menunggu lama, aku dan suami pun segera pergi ke dokter. Perasaan bahagia membuncah di dada. Sampai di klinik, rasa bahagia itu dipatahkan oleh perawat yang mengabarkan; "Ibu, harus bikin perjanjian dulu kalau mau periksa. Karena pasien dibatasi. Paling tidak, daftarnya tiga hari sebelum periksa". 
(Di kotaku baru ada satu orang dokter kandungan yang wanita dan pasiennya banyak sekali. Tak heran jika harus 'antri' beberapa hari sebelum bertemu sang dokter).
Menunggu tiga hari rasanya lama sekali. Ketika harinya tiba dan bu dokter yang telah selesai memeriksaku mengatakan; "selamat, kehamilan Ibu sudah tiga minggu", aku tak henti-hentinya mengucap syukur. Alhamdulillah terimakasih Ya Allah. 
Allah mengijabah doa kami setelah hampir lima tahun kami menanti dan bermacam ihtiar kami lakukan. Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Begitu aku dinyatakan hamil, mulai saat itu pula aku harus banyak merubah kebiasaanku selama ini. Stop makan makanan instan, makan harus lebih teratur, stop traveling, nggak boleh kebanyakan aktifitas, nggak boleh terlalu capek dll. 

Seperti umumnya wanita hamil, aku juga merasakan ngidam. Untung ngidamnya bukan yang aneh-aneh. Paling cuma pengen makan ini-itu aja. Mual juga kualami tapi hanya jika mencium bau yang menyengat. Alhamdulillah cuma mual saja nggak sampai muntah-muntah. 
Selain ngidam, ada perubahan mencolok yang terjadi saat aku hamil.  Wajahku rusak oleh jerawat. Seluruh wajahku berjerawat. Bahkan tidak hanya wajah, badanku pun berjerawat. Yang namanya punggung, rata dengan jerawat! Pengen nangis tiap kali liat bayangan diri di kaca. Karena jerawat yang merajalela aku jadi camera phobia dan juga nggak pede tiap bertemu saudara atau kerabat. Karena tiap bertemu orang, mereka akan berkomentar sama. "Kok wajahnya jadi rusak ya? Jerawatan banget". Duuuuh..
Selain jerawat, suaraku juga berubah jadi berat. Ngebass kayak suara laki-laki. Banyak saudara yang terheran-heran dengan perubahan suaraku. Jangankan mereka, aku sendiri juga heran kok. 

Sampai usia kehamilanku tujuh bulan, semuanya lancar jaya. Aku bahkan sempat pergi ke luar kota demi untuk menyaksikan sepupu menikah dan sekalian nyicil belanja kebutuhan bayi. Hehehe. 


Drama kehamilanku dimulai ketika memasuki minggu ke-32. Waktu itu aku terbangun sebelum subuh. Masih dengan terkantuk-kantuk dan nyaea yang belum sepenuhnya nempel, aku berjalan malas ke kamar mandi. Selesai pipis aku lanjut gosok gigi. 
Ketika sedang menggosok gigi, aku merasakan ada sesuatu yang menetes jatuh. Aku lihat ke bawah dan seketika itu kantukku lenyap entah kemana. Ada tetesan darah di dekat kakiku. Dan beberapa detik kemudian, darah pun mengalir deras. Aku terduduk lemas di closet. Sambil menangis ketakutan, aku usap-usap perut dan kukatakan berkali-kali pada makhluk kecil yang berada di dalamnya. "Adik nggak papa kan? Adik sehat kan? Adik kuat ya! Adik kuatkan Ibu ya!". 
Darah sempat berhenti sebentar. Tapi lalu keluar lagi. Kupanggil-panggil suamiku yang sedang tidur. Dengan tergopoh-gopoh dia menghampiriku dan diapun syok melihat apa yang terjadi. Suamiku berusaha menenangkanku dengan bilang "jangan panik ya. Tenang ya" tapi nada suaranya sendiri terdengar panik.
Saat itu sungguh aku ketakutan. Dengan susah payah aku berusaha untuk bisa tenang. Bayangan buruk yang melintas di kepala, aku usir jauh-jauh.
Setelah darah berhenti mengalir, kubersihkan diri dan lalu segera kembali ke tempat tidur untuk istirahat. 
Sekitar jam sembilan pagi, aku dan suami pergi ke klinik untuk memeriksakan kondisiku. Karena kondisi darurat, aku dipersilahkan 'menerjang' antrian dan jadi pasien pertama yang masuk ruang periksa. 
Pemeriksaan melalui USG segera dilakukan. Melalui USG, diketahui kalo pendarahan yang kualami karena placenta previa. Dokter memerintahkan aku untuk bedrest. Perintah berikutnya membuatku semakin ketakutan. Dokter juga meminta aku untuk mulai menyiapkan  pendonor darah. Aku diminta untuk menghubungi saudara-saudara yang memiliki golongan darah yang sama denganku. Ketika kutanya, kenapa harus begitu, dokter menjawab "karena jika terjadi pendarahan lagi, Ibu akan butuh banyak darah untuk mengganti darah yang keluar. Dan juga Ibu harus siap kalo bayi Ibu terpaksa harus dikeluarkan sebelum HPL alias prematur. Karena akan sangat berbahaya jika memaksa untuk terus mempertahankan kehamilan sampai dengan hari H, sementara Ibu mengalami pendarahan terus". 

Pulang dari klinik, perasaanku makin nggak karuan. Sedih, galau, takut bercampur jadi satu. Doa dan support dari orang-orang tercintaku lah yang menguatkanku kala itu. 
Aku yang seumur-umur belum pernah  bedrest, awalnya sempat agak stres. Aku hanya turun dari tempat tidur untuk urusan kamar mandi. Selebihnya semua kulakukan diatas kasur. 
Untuk mengalihkan kejenuhan, aku mulai browsing tentang placenta previa. Entah berapa puluh artikel yang habis kubaca. Dari situ, aku mulai mempersiapkan diri. Untuk Ibu hamil dengan kasus placenta previa, tidak disarankan untuk melahirkan secara normal karena akan membahayakan ibu dan bayi. 
Aku yang dari awal bercita-cita ingin melahirkan normal, perlahan-lahan mulai mengubur cita-cita itu. Sempat sedih tapi aku lalu tersadarkan oleh nasihat dari salah satu kakakku; Tak perlu berkecil hati karena tidak bisa melahirkan normal. Melahirkan normal maupun caesar, toh nantinya sama-sama tetap jadi Ibu kan? 

Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk bedrest. Tapi ternyata bedrest yang kulakukan tidak berhasil. Lima hari setelah pendarahan yang pertama, aku mengalami pendarahan lagi. Ya Allah.. 
Tidak ada waktu untuk terus menangis dan  bersedih-sedih meratapi kondisi. Aku dan suami bergegas menuju dokter. Karena ingin  mencari second opinion, kami pun datang ke dokter kandungan yang lain. Sempat rikuh sendiri karena dokternya laki-laki. Tapi karena darurat dan suami juga mengijinkan ya sudah lah ditahan-tahan malunya. Dokter yang laki-laki ini dokter kandungan senior di kotaku. Orangnya lebih santai. Beliau hanya berpesan tetap bedrest. Kalau nggak mau di rumah sakit ya nggak papa bedrest di rumah yang penting bedrest. 
Kalo bedrest sebelumnya, aku masih ke kamar mandi untuk pipis, mandi dan juga pup. Bedrest kedua, aku hanya ke kamar mandi untuk pup. Aku terpaksa beli pispot dan juga diaper untuk pipis. Mandi hanya diusap pake handuk dan air hangat saja. Entah seperti apa kucelnya aku ketika itu. 
Aku kuat-kuatkan diri. Biar lah rambut  lepek, muka kucel, badan bau asem,  yang penting nggak pendarahan lagi. Tapi ternyata aku keliru. Seminggu berikutnya aku mengalami pendarahan untuk yang ketiga kalinya. 
Dokter senior yang kudatangi kala itu sedang tidak praktek dan diganti oleh dokter residen. Dokter residen pun  meminta aku untuk tetap bedrest tapi beliau menyarankan aku untuk bedrest di rumah sakit. Saran beliau tidak kuturuti. Aku tetap memilih bedrest di rumah. 

Seminggu kemudian aku mengalami pendarahan lagi. Lebih deras dari pendarahan yang ketiga. Kuhubungi klinik untuk memastikan apakah dokter praktek pada hari itu. Dan ternyata sang dokter sedang ada tugas keluar kota dan baru akan kembali dua hari lagi. 
Takut terjadi apa-apa jika harus menunggu dua hari -sampai dokternya pulang dari luar kota- aku dan suami memutuskan untuk mencari third opinion ke luar kota (satu jam perjalanan dari kota kami). 
Sesampainya kami di Rumah Sakit, aku segera dibawa ke ruang UGD untuk diperiksa tekanan darah dll. Kurang lebih satu jam, aku baru ketemu dengan dokter kandungan yang akan menanganiku. Kusampaikan pada beliau kondisi kehamilanku dari awal secara ringkas. Setelah diperiksa, dokter mengatakan kalau aku sudah mengalami kontraksi. 
Aku yang saat itu tidak merasakan mulas ataupun sakit perut layaknya wanita hamil yang sedang kontraksi, dengan lugunya berkata pada sang dokter; "Tapi saya nggak merasa mules-mules dok. Cuma pendarahan aja. Tapi nggak sakit". 
Jawab dokternya: "Ibu, tanda-tanda kontraksi bukan hanya mules atau sakit perut saja. Perut kencang juga termasuk salah satu tandanya. Ini lihat perut Ibu kenceng kan?". 
Oleh dokter, aku diberi obat untuk mengurangi kontraksi. Kata dokternya, semoga bisa bertahan sampai HPL. Kalaupun ternyata harus prematur, paling enggak ditunggu seminggu lagi. 
Dokter juga mengharuskanku untuk totally bedrest. Dan jadilah, untuk pertama kali dalam hidupku aku merasakan tinggal di rumah sakit. Dan yang lebih menyiksa lagi, aku sama sekali tidak boleh turun dari tempat tidur. Hiks. 

Malam pertama di rumah sakit kulalui dengan gelisah. Aku tidak bisa tidur. Per sekian jam, perawat datang untuk memeriksa detak jantung bayiku. Alhamdulillah hasilnya selalu bagus. Tiga hari berlalu belum ada tanda-tanda kontraksiku mereda. Perut masih sering terasa kencang. HBku juga rendah. Terpaksa harus dilakukan transfusi darah. Total aku menghabiskan sembilan kantong darah selama di rumah sakit.
Hari keempat, aku merasakan perutku semakin kencang. Punggungku juga terasa sakit. Aku sama sekali tidak bisa tidur. Puncaknya ketika tengah malam badanku semakin terasa sakit. Perawat segera menghubungi dokter untuk mengabarkan kondisiku. Tak berapa lama, perawat datang lagi ke kamar dan bertanya: "Ibu, kalau dilakukan operasi sekarang bagaimana? Dokternya siap kalau mau operasi malam ini. Dokter khawatir nanti keburu terjadi pendarahan lagi. Karena akan lebih berbahaya". 
Aku yang masih kesakitan tentu saja menolak. "Jangan malam ini mbak. Saya belum tidur seharian ini. Saya belum mempersiapkan diri juga mbak. Kalau ditunda dulu gimana mbak? Saya usahakan tidur dulu barang beberapa jam". 
Perawat minta ijin untuk menelpon dokter lagi terlebih dahulu sebelum mengiyakan permintaanku.
Tak sampai sepuluh menit, dia sudah kembali ke kamar. "Dokter membolehkan Bu. Besok jam 9 pagi operasinya ya Bu. Mulai sekarang Ibu puasa". 
Suamiku lalu menelpon orangtua di rumah untuk meminta persetujuan. Semua setuju. Dokter yang lebih paham kondisi pasien. Kalau memang harus dilahirkan sekarang ya sudah ikut kata dokter saja. Begitu kata orangtua kami. 

Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Ternyata begini rasanya kalau mau melahirkan. Sungguh mendebarkan. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidur. Akhirnya aku bisa tidur walaupun hanya sekitar dua jam. 

Dan saat yang mendebarkan pun tiba. Hari Senin tanggal 30 Juni 2014, pagi-pagi perawat sudah mulai menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan operasiku. Jam setengah sembilan aku dibawa menuju ke ruang operasi. Ya Allah, kurasakan keringat dingin di tubuhku. Aku nervous berat. Mulutku tak berhenti mengucap doa dan salawat. Memohon yang terbaik dariNya.
Jam sembilan, dokterku datang. Sebelum berganti pakaian, beliau menghampiriku yang masih berada di depan ruang operasi. Dengan ramah beliau menyapa dan menyemangatiku. "Tenang ya Bu. Nggak papa. Nggak usah takut. Jangan tegang. Berdoa ya Bu". Sepertinya beliau bisa membaca ketakutan dan ketegangan di wajahku.
Sesaat sebelum aku masuk ruang operasi, perawat mempersilahkan aku dan suami untuk berdoa bersama. "Silahkan Bapak Ibu berdoa terlebih dahulu". 
Selesai berdoa, aku pamit masuk ke ruang operasi. Kucium tangan suamiku, kuminta dia untuk terus berdoa. Dia menyemangatiku dan berusaha kelihatan tenang. Tapi wajahnya tak bisa menipu. Dia pun cemas, sama sepertiku. 

Di dalam ruang operasi, badanku gemeteran. Entah karena suhu kamarnya yang terlalu dingin atau karena aku terlalu nervous. Keringat dingin semakin membanjiri tubuhku. Ya Allah kuatkan aku. Kuatkan aku. 
Aku hanya dibius lokal. Jadi aku bisa mendengar semua percakapan dan segala macam bunyi yang terjadi dalam ruang operasi tersebut. Termasuk bunyi gunting dan alat operasi lainnya yang dipegang dokter. 
Setengah jam berlalu dan kemudian salah seorang perawat mendekatiku. "Ibu bantu dorong ya. Hitungan ketiga ya Ibu. Satu, dua, tiga!!! Kudorong badanku sekuat tenaga dan beberapa detik kemudian kudengar tangis bayi pecah dengan kencangnya. Subhanallah. Alhamdulillah. Terimakasih Ya Allah.
Airmataku mengalir deras. Sambil menangis kupandangi bayiku yang sedang dibersihkan oleh perawat. Setelah bersih dan dibalut selimut, perawat menghampiriku sebentar. "Bu, selamat ya. Anak Ibu perempuan. Saya bawa keluar dulu biar diazani bapaknya". Kucium pelan pipi anakku dan airmataku jatuh lagi dengan derasnya. 
Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku mengucap syukur. Terimakasih atas anugerahMu yang sungguh indah. Hari-hari penuh drama telah berlalu. Dan drama kehamilanku pun berakhir dengan hadirnya bidadari kecil nan cantik. Alhamdulillah. Terimakasih Allah..




Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Pregnancy Story Writing Competition oleh NUK Baby Indonesia.